Pilkada di tiap daerah segera digelar sebelum Pemilu 2009. Pilkada ini merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung yang menumbuhkan partisipasi rakyat lebih intens daripada pemilu legislatif atau pemilu presiden. Para calon gubernur berkampanye, semuanya berjanji akan memperhatikan rakyat. Janji manis yang seringkali susah diwujudkan. Apalagi, dalam sistem kapitalisme.
Jaringan politik partai dan si calon amat berperan untuk mencapai kemenangan. Apalagi masyarakat lebih memikirkan soal perut. Makanya, banyak partai nasional yang menang karena memiliki sumber ekonomi yang lebih besar dibanding partai Islam. Sehingga muncul semacam ketidakyakinan dari partai Islam bahwa mereka dapat meraih banyak dukungan jika bergandengan dengan partai sejenis. Bahkan mereka kerap berkompetisi. Jadi partai Islam berusaha bergandengan tangan dengan partai nasionalis. Bahkan antar partai Islam pun bersaing untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Mana suara partai-partai Islam yang menyuarakan syariah? mana suara para ulama dan ustadz yang menyuarakan syariah?
Akibat dari koalisi yang asal adalah partai akan keluar dari tujuan awal partai, keluar dari visi misi partai. Dan otomatis kondisi politik (pemerintah/penguasa) tidak berubah. Masyarakat yang berharap usai pemilu keadaan negara akan berubah, harus kecewa berat. Usai pemilu partai cenderung meninggalkan janjinya dan menyibukkan diri dengan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa ada juga calon pemimpin yang mendapat dukungan dana dari para pengusaha. Politik ’balas budi’ kemudian akan membuat penguasa yang ada akan lebih mementingkan kepentingan pengusaha tersebut. Hal senada dilontarkan Andrinof Achaniago (peneliti senior The Habibie Center)” Sistem pemilu dan pilkada sekarang membuka peluang bagi politisi menjadikan partai sebagai mesin pencari uang (politik uang)”, ujarnya (Republika 11/06/2007). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sejumlah partai yang ada tidak mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat. Dengan kata lain, beberapa partai telah mengalami kegagalan
Kini yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengapa sejumlah partai yang ada mengalami kegagalan? Pertama: aspek pemikiran dan tujuan partai tersebut. Kedua: aspek organisasi, bukan dalam arti sistem organisasi internasional parpol tersebut, namun asas yang membangun partai tersebut. Partai telah mengabaikan asas-asas partai, yaitu, pemikiran sebagai penentu tujuan partai, metode yang ditempuh partai, sisi anggota partai dan cara menyatukan masyarakat dengan partai.
Dari sisi pemikiran, partai yang ada berdiri di atas pemikiran yang masih bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas. Bahkan pemikiran itu kabur atau samar. Pemikiran yang didengungkan partai justru pemikiran yang sangat umum dan tidak mencakup seluruh aspek kehidupan seperti nasionalisme, sukuisme dan patriotisme.
Selain itu, partai yang ada tidak memahami metode untuk mengaplikasikan pemikiran mereka. Pemikiran yang diemban justru diaplikasikan dengan cara serampangan tanpa persiapan dan kacau. Akibatnya, perjuangan partai terkesan hanya merupakan reaksi terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua ini sebagai akibat dari sikap partai yang sekadar membebek pada apa yang menjadi tren di dunia. Padahal seharusnya yang diemban sebuah partai adalah pemikiran yang mencakup seluruh aspek kehidupan dalam bentuk sebuah pemikiran ideologis.
Lebih parahnya lagi, partai-partai nasionalis di Indonesia tidak menyadari bahwa pemikiran yang diemban adalah pemikiran Barat alias Kapitalisme. Mereka malah berusaha menafsirkan Barat se-ide dengan pemikiran Islam. Sehingga seolah- olah pemikiran Barat sesuai jika disejajarkan dengan pemikiran Islam.
Partai yang ada juga tidak konsisten. Mereka begitu mudah terjebak untuk tawar-menawar atau kompromi dengan penguasa dan pejabatnya, berkoalisi dengan partai-partai lain yang kadang tidak sehaluan.
Selanjutnya, partai-partai yang ada, termasuk partai Islam, bertumpu pada orang-orang yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak yang benar. Para aktivis partai yang ada hanyalah sekelompok orang yang sebatas berbekal semangat karena dipicu dari kondisi yang terjadi di negara. Ini sangat berbahaya. Jika hanya bermodalkan semangat dan semangat itu mengendur, maka cita-cita juga ikut mengendur. Pada akhirnya, perjuangan pun berhenti. Apalagi kemudian para aktivis partai mendapatkan kedudukan empuk di pemerintahan.
Kesalahan terakhir, orang-orang yang memikul tugas kepartaian tidak memiliki ikatan yang benar, kecuali sebatas ikatan organisasi. Ikatan yang menyatukan mereka dalam partai hanyalah ikatan yang didasarkan pada sejumlah deskripsi kerja keorganisasian dan jargon partai. Akibatnya, parat-partai seperti ini biasanya mencari orang-orang yang memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat. Begitu juga dengan anggota partai, mereka biasanya menjadikan partai untuk meningkatkan status sosial. Terkadang anggota partai juga berpindah dari satu partai ke partai lainnya.
Inilah kondisi yang menimpa partai-partai yang ada, termasuk partai Islam. Mereka gagal mengemban amanat umat. Kalo gitu gambaran partai yang benar dan kriteria pemimpin yang sebenarnya gimana? Jawabannya bisa dilihat dari sebab kegagalannya, antara lain: Pertama, pemikirannya (fikroh) harus jelas. Kedua, metode menerapkan pemikirannya (thariqoh) juga harus jelas. Jika fikroh dan thariqohnya tidak jelas maka tujuannya tidak akan berhasil tercapai. Ketiga, angota- anggotanya punya kesadaran penuh dan niat yang benar untuk bergabung dalam partai.. Keempat, ikatan partai harus ikatan yang benar yaitu ideologi Islam.
Selama ini dalam pentas pemilu , para capres yang mewakili kelompok Islam kalah suara dengan yang berhaluan Nasionalis. Padahal mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Semua ini menunjukkan bahwa kesadaran politik Islam di kalangan kaum Muslim masih sangat lemah. Misalnya, mereka lebih suka dipimpin oleh tokoh- tokoh sekuler ketimbang tokoh- tokoh Islam. Alasan mereka memilih pemimpin juga karena alasan tertentu, misalkan karena ganteng, kalem, tenang, murah senyum, pintar, kaya, royal dalam membagi uang, dll. Mereka tidak melihat latar belakang, ideologi, atau visi- misi capres yang bersangkutan
Menurut sistem Islam, syarat-syarat utama yang harus diperhatikan dalam memilih pemimpin antara lain, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan melaksanakan amanat sebagai kepala negara. Kepala negara itu harus mampu mewujudkan kemerdekaan (kebangkitan) yang sesungguhnya, bukan justru sebaliknya, membiarkan negeri ini tetap dalam cengkeraman kekuatan dominasi asing.
Menurut Islam, tugas pemimpin itu mengatur urusan dunia dan memelihara Agama. Bagaimana bisa diharapkan seorang pemimpin yang tidak beragama dapat memelihara Agama?. Karena itu, kriteria menjadi pemimpin haruslah orang yang beriman. Hal inilah yang disebutkan dalam Alquran surat an-Nisa' ayat 144 yang artinya. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang kafir menjadi pemimpinmu dengan meninggalkan orang Mukmin."
Selanjutnya, pemimpin haruslah seorang yang mempunyai visi dan program kerja untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan sabda Rasul SAW yang artinya, "Barang siapa yang tidak mementingkan urusan kaum Muslim maka dia bukan dari golongan mereka."
Seorang pemimpin hendaklah menjadi pelayan umat. Pelayan tidak pernah diam mengurus tamunya. Ibarat pelayan di rumah tangga terus sibuk melayani kepentingan seluruh penghuni rumah, maka pemimpin juga terus sibuk memikirkan dan melayani urusan rakyatnya. Lebih baik lagi bila dia berani mengorbankan harta sendiri untuk memenuhi kepentingan warganya.
Seorang pemimpin juga harus konsisten menjaga agama. Seorang kepala negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga akidah umat dan menegakkan syariat Allah untuk dilaksanakan oleh segenap kaum muslimin. Seorang kepala negara tidak boleh menyerahkan urusan agama kaum muslimin kepada pribadi masing-masing. Yang suka silahkan mengerjakan, dan yang tidak suka silakan meninggalkan. Kepala negara bertanggung jawab agar kaum muslimin dapat melaksanakan ajaran Islam dengan benar. Selain itu, pemimpin juga mengatur urusan dunia. Dalam tugasnya mengatur urusan dunia, pemimpin suatu negara bertanggungjawab untuk mendayagunakan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh negara, baik berupa alam, manusia, dana maupun teknologi untuk sebesar-besarnya menciptakan keadilan, keamanan, kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas. Pemimpin juga bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah agar mereka tetap dapat menikmati kehidupan sebagai seorang manusia secara wajar. Pemimpin tidak boleh membiarkan yang kuat memonopoli aset-aset negara dan yang lemah tertindas. Peimpin juga tidak boleh berkhianat, dengan mengekploitasi sumber-sumber daya hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompoknya.
Kita sekarang tidak sekedar butuh pemimpin Islam tetapi butuh sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan seluruh syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab hanya dengan itu, insya Allah semua problematika umat akan dapat terselesaikan. Wallahu a‘lam bi ash-shawab.
Sabtu, 28 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar