Lihat Kartu Ucapan Lainnya (KapanLagi.com)

Kamis, 02 April 2009

GOLPUT HARAM???....NGGAK LAH !!!

Tak dapat dipungkiri bahwa fatwa berperan dalam meluruskan pemahaman hukum Islam kepada masyarakat. Dengan fatwa, masyarakat bisa mengetahui mana yang harus dilakukan. Namun tak dapat dipungkiri, fatwa telah menjadi penengah antara masyarakat dengan hukum Islam. Bahkan, masyarakat jauh lebih dekat kepada fatwa ketimbang kebenaran dari hukum Islam itu sendiri. Masyarakat menjalankan ajaran agama Islam sesuai dengan isi fatwa. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan fatwa. Pertama, perbedaan antara fatwa dan hukum Islam. Fatwa harus secara tegas dibedakan dengan hukum Islam. Keduanya tak boleh dicampuradukkan. Fatwa adalah pendapat hukum yang dikeluarkan oleh ulama yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam. Jadi fatwa adalah kreasi manusia. Sementara hukum Islam adalah ketetapan Allah SWT yang berdasarkan Al-Quran dan As Sunnah. Sementara fatwa adalah penafsiran. Kedua, monopoli ulama terhadap kebenaran agama. Sebagaimana telah diungkapkan, fatwa merupakan hasil ijtihad para ulama. Fatwa adalah 'panen intelektual' ulama dari lahan agama yang begitu luas. Adalah benar, fatwa dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat. Namun harus juga diakui, tradisi fatwa telah memisahkan masyarakat dari hukum Islam yang berasal dari Maha Pencipta alam beserta isinya.
Fatwa-fatwa yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimaksudkan untuk menjawab problema baru yang mencuat dimasyarakat. Seperti tabarruk dari pribadi kekasih Allah (dari para nabi, syuhada dan orang-orang saleh), penikahan dini, nikah beda agama, merokok bagi anak-anak, warisan beda agama dan lainnya. Bahkan, pemilu 2009 ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengukuhkan fatwa tentang haramnya golput. Berbagai fatwa yang berkaitan dengan kehidupan Umat Islam di Indonesia diluncurkan ketengah-tengah masyarakat oleh MUI. Jika fatwa itu didiamkan saja oleh masyarakat berarti masyarakat menerima fatwa itu untuk diamalkan dalam kehidupan beragama. Dan terlihat jelas bahwa fatwa itu juga mendapat restu dari Pemerintah karena demi kesuksesan pesta demokrasi pemilu 2009 yang merupakan agenda program Pemerintah tiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin negara Indonesia. Oleh karena itu, mari kita telaah fatwa MUI tentang haramnya golput agar kita dapat mengambil keputusan yang benar.
Tujuan MUI mengemukakan fatwa ini adalah dalam rangka memberikan kontribusi politik guna mewujudkan masyarakat yang demokratis. Dengan tujuan itu, MUI menyatakan bahwa masalah pemilu itu memiliki kedudukan hukum yaitu ikut pemilu hukumnya wajib dengan alasan, pertama pemilu merupakan agenda lima tahunan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang sudah menjadi consensus nasional, termasuk kesepakatan dari umat Islam. Dan umat Islam harus melaksanakan kesepakatannya. Kedua, pemilu merupakan sarana menetapkan pimpinan nasional (nashb al-Imam), sedangkan nashb al-Imam hukumnya wajib. Ketiga, penetapan pemimpin nasional tidak akan sempurna tanpa keikutsertaan seluruh warga negara yang mempunyai hak pilih dalam pemilu. Keempat, diantara partai peserta pemilu ada partai yang mengemban tugas amar makruf nahi mungkar. Atas dasar keempat alasan tersebut, maka golput (tidak mengunakan hak pilih yang telah diberikan) dalam pemilu hukumnya haram. Setelah MUI mengemukakan dasar pandangannya bahwa golput haram, selanjutnya mengemukakan dua rekomendasi. Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.Kedua, Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak pilih masyarakat terpenuhi.
Sebagai sebuah lembaga fatwa, tentu sikap MUI ini didasari dengan dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, kaidah ushuliyyah, dan juga pendapat ulama’.Untuk pertimbangan pertama tentang kewajiban memilih, MUI mengemukakan sebuah hadis;
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
"Perjanjian itu boleh di antara kaum muslimin kecuali perjanjian untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dan orang-orang Islam berada di atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR at-Tirmidzi)"
Tentang kewajiban memilih pimpinan, MUI mengemukakan dalil:
1. firman Allah di dalam surat an-Nisa’ ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu"
2. hadis Nabi
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كنتم ثلاثة في سفر فليؤمكم أحدكم
"Dari Abu Sa’id al-Khudry, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, apabila kalian bertiga di dalam sebuah perjalanan maka hendaklah salah seorang di antara kalian menjadi pemimpin (HR Ibnu Hibban)"
3. MUI juga mencomot pendapat al-mawardi dari al-Ahkam as-Sulthaniyyah bahwa mengangkat pemimpin itu adalah wajib. Kutipan yang disebutkan oleh MUI adalah, "Penegakan kepemimpinan hukumnya wajib berdasarkan consensus. Hal ini mengingat imama ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia"
Dan untuk mendukung pandangannya yang ketiga tentang wajibnya memilih, MUI mengemukakan berbagai kaidah ushul fiqih, antara lain;
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
Media memiliki hukum sama dengan hukum tujuannya
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Apabila kewajiban tidak akan dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib.
Dan untuk mendukung alasannya yang keempat, MUI memandang adanya partai yang membawa misi amar ma’ruf nahi munkar. Sekaligus menyadari kekurangan yang ada pada setiap partai.
Adapun ijtima MUI terkait dengan haramnya golput dalam pemilu melahirkan respon dari pemerhati politik Indonesia, yaitu "Golput haram bila masih ada calon yang amanah dan imarah, apapun partainya," papar Humas MUI, Djalal (Kompas, 27/1/2009). Ini karena, menurut Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam, "Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa." (Republika, 27/1/2009). Namun, pandangan berbeda dikemukakan Dr. Sofjan S. Siregar. Ia menyatakan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan golput adalah sebuah `blunder ijtihad' dalam sejarah perfatwaan MUI. Justru mengharamkan golput itu hukumnya haram. "Sampai detik ini, saya gagal menemukan referensi dan rujukan serta dasar istinbath para ulama yang membahas masalah itu," ujar Sofjan, doktor syariah lulusan Khartoum University, direktur ICCN, Ketua ICMI Orwil Eropa dan dosen Universitas Islam Eropa di Rotterdam. "Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada pematwa dan peserta rapat MUI yang terlibat dalam `manipulasi politik fatwa golput' untuk bertobat dan minta maaf kepada umat Islam Indonesia, karena terlanjur membodohi umat," tandas Sofjan (Detik.com, 27/1/2009). Pengamat politik Indobarometer M. Qodari bahkan menilai, dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia. "Kalau mereka dilarang untuk golput, hal itu justru menjustifikasi sistem politik yang tidak baik. Fatwa harusnya menganjurkan pada kebaikan," jelas Qodari (Detik.com, 26/1/2009). Komentar tajam juga dilontarkan oleh pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Menurut Noorsy, MUI tidak konsisten dalam berpijak mengeluarkan fatwanya. Sebab, Pemilu yang dilakukan dengan basis individual atau demokrasi liberal merupakan pemikiran Barat. Karenanya, Noorsy menambahkan, alasan dan argumen rasional MUI lemah. "Fatwa MUI kali ini pun gagal merujuk al-Quran dan Hadis. Kalau fatwa ini mempertimbangkan kebaikan, berarti MUI mengabaikan kebenaran ajaran dan kecerdasan masyarakat," tegasnya. (Detik.com, 27/01/2009).
Jika demikian, bagaimana sesungguhnya pemilu dan kedudukan golput dalam pandangan hukum Islam??? Hukum pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk: 1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen; 2) Memilih penguasa. Dalam pandangan hukum Islam, pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain: Pertama, hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda:
Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud). Kedua, dalam Baiat `Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri. Wakalah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai dengan syariah Islam. Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.
Kita sebagai seorang muslim wajiblah mengimani Allah SWT dan menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40). Allah SWT juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat pada syariah-Nya. Tidak boleh seorang Muslim mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan.
UU Pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak, bukan kewajiban. Jadi, bagaimana mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mengambilnya. Lagipula, memilih untuk tidak memilih itu berarti juga memilih. Jadi, fatwa haram golput itu sendiri secara filosofis bermasalah. Lagipula sekarang ini berkembang fenomena golput di mana-mana. Dalam Pilkada itu golput sampai 45%-47%. Ini angka yang sangat tinggi. Itu harus dipahami secara lebih mendalam. Jangan-jangan itu merupakan cerminan dari ketidakhirauan masyarakat karena mereka melihat bahwa proses politik (Pemilu) itu tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka. Ketika orang tidak menggunakan pilihan politiknya tidak bisa dikatakan bahwa dia apolitik. Sebab, boleh jadi hal itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik; bahwa dia tidak mau terus-menerus terjerumus dalam sistem sekular yang terbukti bobrok ini.
Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah "kedaulatan syariah", bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman: Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf [12]: 40).
sikap yang harus ditunjukkan oleh setiap Muslim adalah tidak memilih calon/partai manapun yang nyata-nyata tidak sungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya syariah Islam, apalagi sampai mengokohkan sistem sekular saat ini termasuk merealisasikan tegaknya negara Islam bagi kaum Muslim untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui penerapan syariah Islam di dalam negeri dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Di bawah naungan negara Islam pula, umat Islam di seluruh dunia akan dapat disatukan kembali sekaligus menjadi umat terbaik, dan Islam pun akan menjadi pemenang atas semua agama dan ideologi sekalipun orang-orang kafir membencinya.